KISAH PERJUANGAN KEMERDEKAAN ...part 2

 

 
DARI BANGKU SEKOLAH KE MEDAN LAGA
Penyerangan Terhadap Pertahanan Inggris di Wonokromo
 
ASRAMA SAWUNGGALING
PART 2 ...
 
Tanggal 28 Oktober 1945, seharian para komandan seksi tidak kelihatan, ternyata mereka mengadakan rapat membuat putusan untuk berperang dengan tentara Inggris di Wonokromo.
 
Hari itu pula dibagikan peluru dan granat tambahan. Sekali lagi kita dilatih mempergunakan sejata-senjata tersebut dan tiap anggota diberikan 105 butir peluru dan sebuat granat.
 
"Hemat-hemat dengan peluru jangan sampai kehabisan. Tembak kalau kelihatan sasarannya. Kalau menarik pelatuk pelan-pelan sampai bunyi dor sendiri. Jangan Kaget", Nasehat Kapten Djamal.
 
Sementara itu malam telah tiba, agak sulit mengarahkan senjata ke arah sasaran.
 
"Ah, sasaran saja tidak kelihatan. Apalagi Gurkha hitam yang bersembungi. Sus, kamu nanti bersama saya saja ya? Kalau tidak saya akan menyerbu sendirian lho", kataku.
"Beres Di, kita kan tiga sekawan, masa berpisah. Hayo kita makan dulu. Rono dan Sobirin kok tidak kelihatan ya hari ini? Kemana mereka?, tanya Haryadi
"Peduli amat mereka kemana. Pokoknya lihat saja nanti", sela Wihadi.
"He Di, kamu sudah pamit bapak-ibu? Kasian mereka menunggu. Kalau kami kan anak-anak kos, jauh dari orang tua" tanya Haryadi padaku.
 
"Mana mungkin pamit, nggak ada waktu. Kalu dipikir salah juga saya. Masuk kesini tidak minta ijin atau setidaknya memberi tahu, menghilang saja sejak  12 hari yang lalu. Anak apa saya ini! Hanya untuk bersama teman", ujar saya kepada teman-teman.
"Dan saya kau paksa ikut! Alangkah marah bapak nanti kalau saya pulang. Kalau ibu sih kasihan, paling-paling nangis. Kan hanya saya anak laki-lakinya", sela Darlin.
"Ah cengeng betul kamu. Sudah, jangan bicarakan masalah rumah, bikin pikiran kacau saja. Perjalanan masih jauh nanti ngantuk", tukas Slamet
 
Seharian tidak mandi dan pakaian tidak terlepas dari badan, akhirnya kami tertidur. Akan tetapi terasa baru sebentar memejamkan mata kami sudah dibangunkan.
"Hee....Bangun......bangun kita bergerak! Siapkan senjata, isi dan betulkan perengkapan. Kita bergerak 30 menit lagi. Jangan lupa stiwel kerasin!, desis Sersan Eddy.
         

Bulan bersinar remang-remang hanya kesibukan persiapan dan gemeretak senjata-senjata diisi peluru yang terdengar.
"Seksi   3  maju..... dua  banjar.....kiri  kana jalan...... masing-masing berpegang pundak kawan yang depan!, perintah Kapten Djamal.

Beberapa bintang yang kelihatan tidak kuasa mengusir kegelapan malam, ditambah kantuk yang membuat mata tidak dapat dibuka semestinya. sehingga membuat tubuh kawan di depan tak terlihat. Hanya bunyi langkah yang terseok seok dan hembusan nafas yang masih menunjukkan adanya kehidupan.
      
Jalan besar Waru - Wonokromo yang lurus dan beraspal licin membuat kaki mudah dipijakkan. Mendadak terdengar teriakan, "Awas.........Loncat"

Dari barisan depan sampai belakang secara reflek loncat tanpa berpikir. Ribut ada beberapa kawan yang terjatuh karena meloncat sambil setengah tidur.
 
"Ada apa?, hanya disambut tertawa cekikikan dari depan.
"Dancuk! Durung Tau di kemplang yo. Awas sekali lagi batu melayang", ancam pasukan yang berada di belakang.
"Nek ngak  ngono ngak melek-melek, rek".
 
Dan seperti orang buta yang berjalan tertatih-tatih perjalanan diteruskan. Akhirnya sampai juga di Wonokromo. Kita diistirahatkan di pasar dan jalan besarnya. Menurut Kapten Djamal hari masih jam 3 pagi, sedangkan serangan akan dimulai menjelang fajar sekitar jam 5 pagi.
 
Setelah satu jam tidur-tiduran dijalan, saya sudah tidak tahan lagi untuk tidak bergerak, maka saya ajak beberapa teman untuk melihat-lihat ke depan dan mengintai ke Jembatan Wonokromo.
"Hayo ke Jembatan. Ada apa sih tunggu sampai pagi. Bisa ketahuan oleh tentara Inggris", ujar saya.
"Hayo!", sahut Haryadi dan Sushandoko.
 
Maklumlah kita masih merasakan sebagai pelajar yang bebas bergerak tanpa ikatan komando seperti waktu melucuti senjata pasukan Jepang dulu. Pengertian disiplin pertempuran, hubungan kesatuan serta gerakan yang terpimpin masih awam.
 
Bertiga kita bergerak maju kearah Jembatan Wonokromo terlihat sinyi dan tanpa curiga kita sebrangi jalan untuk bisa sampai ke mulut  jembatan.
"Menyerang apa kita? Sepi tidak terlihat apa-apa dan lampu jembatan masih menyala", ujar saya.
 

Tetapi belum selesai saya bicara dan belum sampai kita di mulut jembatan mendadak udara diterangi oleh lampu tinggi di atas jembatan dan hampir bersamaan ratusan kunang-kunang dengan kecepatan luar biasa seakan-akan mengurung kita disertai desingan dan bunyi tembakan.
 
"Awas tembakan, meyebar, tiarap!, teriak saya.
Sambil menjatuhkan diri mengelinding ke arah kanan jembatan dan selanjutnya merangkak di tebing sungai. Namun desingan peluru masih bersahutan di atas kepala saya,. Lalu saya berjalan terbongkok-bongkok sampai mmencapai tebing sungai yang dipakai untuk menumpuk batang-batang bambu dan buah kelapa. Saya berhenti sambil mengambil posisi di sisi tumpukan buah kelapa. Peluru-peluru yang ditembakan dari seberang sungai seperti kunang-kunang dikegelapan mala.
 
Saya mengamati kesekeliling ternyata saya sendirian dan entah kemana teman-teman. Saya periksa isi peluru dan saya tembakan ke arah datanganya tembakan tersebut. Tembakan yang diarahkan kepada saya terlihat ngawur dan asal tembak saja.
 
Cahaya tembakan lampu simar lawan menyilaukan mata dan dengan bantuan cahaya itu saya amati sekeliling, ternyata di kiri dan kanan sudah terisi kawan-kawan dari kelasjkaran yang semuanya menggunaklan bambu runcing, golok dan samurai.
"Saudara dari kesatuian mana", tanya seseorang kepada saya.
"Sawunggaling", jawab saya.
"Ah, makanya punya bedil", ujar pemuda tersebut.
"Kamu dari mana?, tanya saya.
"Hisbullah dari Parakan, pimpinan Kya Haji Muchlis. Baru saja datang kemarin. Ingin ikut berjuang di Surabaya. Kabarnya tentara Inggris banyak dan ganas-ganas, biar kita habisi bersama!", kata pemuda itu.
 
"Sayang kawan-kawan dari jauh membantu hanya bersenjatakan bambu runcing. Inggris senjatanya hebat-hebat dan baru menang perang", kata saya.
"Jangan nyamah bung, bambu ini sudah diisi mantra-mantra. Tank saja saya tusuk dengan ini akan habis. Apalagi nanti kalau dapat senjata tanpa dibidikpun akan mengenai sasaran", kata orang itu.
"Ah masak?", tanya saya.
"Mau bukti! Sini senjatamu tak pinjam. Tak tembak sekali saj pakai hikmah bambu runcing ini. Musuh di sana pasti mampus", kata pemuda tersebut.
"Benar nih! Bentar, tak isikan senjatanya. Hati-hati kalau akan nembak, jari tangan letakan disini dan tangan kiri sangga senjata dan luruskan ke arah sana", ujar saya.
Senapan saya diterimanya dan bambu runcing diletakkan sejajar di atas senapan.

"Bambu runcingmu letakkan di tanah saja nggak akan hilang kok!, kata saya kepadanya.
"Kamu ngajari saya ya. Lihat! Allahuakbar!, ujar pemuda tersebut.
Ditembakkan senapan itu tanpa dibidik kearah sasaran. Setengah heran saya melihat, alangkah tebal keyakinan pada gurunya. Dan senapan itu dikembalikan kepada saya. Tetapi belum lagi senjata itu terpegang baik, tiba-tiba peluru berhamburan ke arah saya dan dengan cepat saya berlindung di tumpukan buah kelapa. Setelah tembakan mereda saya melihat kekiri dan kekanan.
"Hei kemari, berlindung disini", kata saya.
Namun tak ada jawaban, akhirnya saya ulurkan tangan dan menariknya. Terkejut saya karena saya meraba ada cairan yang hangat, dan ternyata yang saya pegang adalah bagian kepala yang telah hancur.
 

Desingan peluru menghujani posisi disekitar saya, dan saya memutuskan untuk mencari tempat kedudukan lain mendekati pipa air.
Sementara cahaya pagi sudah menampakkan diri, dan saya sudah terpisah jauh dari teman-teman. Sementara persediaian peluru sudah mulai menipis.
"Ini tidak dapat berlanjut atau kita akan dihabisi dan saya harus menyeberangi jembatan agar dapat berhadapan langsung dengan musuh", ujar saya.
Mulailah saya perhatikan sekeliling ternyata ada seorang teman dari Praban yang juga anggota Sawunggaling di seberang jalan. Dan mendadak dari sebelah kanan muncul kendaraan lapis baja bran-carrier  sambil menembak ke arah lawan.
"Cak ayo nyebrang dengan panser itu, daripada disini tidak maju-maju", ujar saya kepada teman dari Praban.
"Mana teman-teman, masa hanya kita berdua saja", sahutnya.
"Bodo amat, nanti mereka juga ikut", kata saya.
Dan saya berlari menghampiri panzer itu dari belakang.
"Bung jangan nembak dulu. Ayo sebrangkan saya, jangan terlalu cepat!", kata saya pada pengemudi panzer itu.
"Berani kamu?", tanya pengemudi panzer itu.
"Sawunggaling rek, ayo jalan. Asal kamu tidak meninggalkan saya saja", jawab saya.
 
Sementara teman-teman lain datang mengikuti saya di belakang panzer itu .
Akhirnya tanpa cidera kami tiba, diujung jembatan terlihat sepi tiada tembakan.
Mendadak saya lihat kain putih dikibarkan di depan saya yang berjarak 50 meter. Saya mendekati, dan saya melihat dua orang Gurkha melambaikan bendera putih sambil berkata "Moslim.......Moslim......!" berkali-kali , mereka berjumlah enam orang.

Dengan nekat saya mendekati mereka dan saya mengisyaratkan mereka untuk meletakkan senjata di sudut dinding. Dengan nada suara ramah saya katakan kepada mereka "Moslim.......Moslim", lalu saya menjabat tangan mereka.
"Jangan takut, no affraid, Indonesia baik", kataku.

Namun tiba-tiba suasana berubah, mendadak berdatangan anggota kalaskaran yang membawa berbagai senjata tajam. Dan tanpa dapat dicegah keenam serdadu Gurkha menjadi bulan-bulanan mereka dengan sadisnya.

Dengan lesu saya berputar meninggalkan mereka.
"Ah malu, kejam dan inilah pertempuran yang saya tidak kehendaki. Kitakan dapat berbicara dengan mereka bahwa kita Bangsa Indonesia ingin menjadi bangsa yang merdeka", kata saya dalam hati.

Perasaan saya hampa, saya telusuri jalan desa menuju ke arah jembatan dan Kebun Binatang Wonokromo. Tidak jauh dari jalan desa terlihat bayangan lalu terdengar suara tembakan.

Saya langsung menjatuhkan diri masuk ke bawah pagar tanaman dan membalas tembakan tersebut. Akan tetapi tembakan saya tidak dibalas, dan dengan hati-hati saya melanggkah ke ujung jalan desa.
Saya melihat banyak selongsong peluru berserakan di jalan. Karena merasa lelah saya duduk di emperan rumah di tepi jalan sambing merenung menghilangkan rasa bimbang dihati. Dan di dalam hati bertanya-tanya kemana kawan-kawan? Apa yang harus saya lakukan sekarang.

Tiba-tiba ada suara halus disisi saya menyapa, hingga saya terkejut.
"Kak, tidak baik untuk kakak melamun disaat seperti ini, karena akan membahayakan kakak di medan perang. Minumlah ini dulu kak! Saya lihat tadi serdadu Inggris lari mundur ke arah sana, setelah menembak ke jalan ini. Dimana teman-teman kakak? Nah itu teman kakak datang dengan membawa senjata banyak", cerocos gadis disebelah saya.
 
Benar saja ternyata teman saya yang bernama Abdul Kadir datang dengan jalan sempoyongan membawa banyak senjata rampasan. Masa bodo dengan senjata hasil rampasan yang diperoleh dengan pembunuhan, kata saya dalam hati. Yang menjadi perhatian saya adalah kata-kata halus yang menggugah semangat juang.
"Terima kasih, kata katamu akan selalu saya jadikan pendorong bagi saya, Merdeka", kata saya kepada orang tersebut yang ternyata adalah seorang wanita.
"Merdeka kak, hati-hati menjaga diri. Dengarkan saja bisikan penguat semangat untukmu", ucap gadis itu dan ia berdendang............
 
"Harum wangi................ mewangi-wangi ganda......
Kau tarunaku.................. satria jaya jati.....................
Aku rela..........................aku gembira pula.............
Kan memenuhi................panggilan ibu pertiwi.

Kau tinggalkan aku selamanya....................
Sedih aku, tidak ku rasa...........................
Tidak berjumpa di dunia fana............
Di Alam baqa..................pasti..................
 
Harum wangi.................. mewangi-wangi ganda..................
Kau tarunaku...................satria jaya jati...................
Pergilah kau.....................kesatriaku sayang...................
Semoga kau selalu dalam lindungan Tuhan"

Dengan langkah ringan dan mantap saya kembali ke jalan besar yang sudah dipenuhi oleh teman-teman dari Sawunggaling, pasukan TKR dan Kelasjkaran.
Ada sebuah truk yang dipenuhi oleh Lasjkar Rakyat.
"Ayo kita ke kota membantu kawan-kawan kita disana!", kata mereka sambil mengajak yang lain untuk naik ke atas Truk.



 bersambung...................
:

Komentar